L
ong tail? Buntut panjang, tentu saja! Apa menariknya buntut panjang. Kalau Anda mau beli kaset CD musik maka selera Anda ditentukan oleh ngetop tidak penyanyinya; nge-hits tidak lagu-lagunya; digandrungi banyak orang atau tidak; masuk TOP 10 atau 40 tidak albumnya; menang Grammy enggak.
The world is becoming flat. Several technological and political forces have converged, and that has produced a global, Webenabled playing field that allows for multiple forms of collaboration without regard to geography or distance – or soon, even language.
Thomas Friedman, The World Is Flat
Begitu juga kalau Anda mau beli buku, nonton film, atau mengoleksi DVD. “Hits”, “ranking”, “rating”, “best seller”, box office”, “blockbuster” begitu menentukan buying decision Anda. Ya, karena kini sedang ada dipuncak era mass culture, pop culture, celebrity culture, hit-driven culture, …….atau apapun namanya. You name it!
Album yang masuk Top 10 atau film yang masuk Box Office akan semakin mendapatkan jutaan pembeli, tapi sebaliknya yang ada di urutan buntut akan makin sepi pembeli. Sampai dengan Top 300 barangkali masih cukup banyak pembeli, tapi bagaimana untuk lagu-lagu yang hanya di urutan 1000 atau bahkan 10.000?
Barangkali sama sekali tak terlirik oleh konsumen.
Tidak ada dalam jangkauan radar minat konsumen.
Karena itu kemudian dikenal “pasar utama” yang gedhe bukan main (bisa juga disebut “mainstream market” atau “mass-market”) dan “pasar buntut” (selama ini dikenal sebagai niche market).
Market untuk lagu-lagu yang masuk sampai dengan Top 500 misalnya, barangkali masih bisa dikatakan sebagai mainstream market dengan kontribusi mencapai 80-90% dari keseluruhan pasar.
Sementara pasar untuk lagu-lagu di urutan 500 sampai 5000 atau 10.000 kalau masih ada, bisa disebut pasar buntut alias niche.
Kembali ke pertanyaan: “Apa menariknya buntut panjang?”
Menurut Chris Andersen (…ingat bukunya, The Long Tail), market yang didominasi pasar mainstream seperti saya gambarkan di atas kini mulai pudar ditelan zaman.
Apa gantinya?
Gantinya adalah pasar-pasar buntut atau pasar-pasar niche dalam jumlah yang tak terbayangkan dalam sejarah umat manusia. Pasar mainstream itu seperti tercabik-cabik menjadi ribuan bahkan jutaan pasar niche. Jutaan pasar niche inilah yang memicu terbentuknya “long tail market” yang kalau digabungkan ukurannya kian tak kalah dibandingkan dengan ukuran pasar mainstream.
Lalu ke mana perginya konsumen yang dulunya mengisi pasar mainstream?
Kata Andersen: “they are scattered to the wind as markets fragment into countless niches”, mereka berterbangan memasuki jutaan pasar buntut yang tak terhitung jumlahnya. Kalau seperti ini, barangkali nantinya pasar mainstream itu sendiri akan menjadi “minoritas” karena sebagian besar pasar akan terdiri atas jutaan pasar niche tadi.
Saya membayangkan nantinya pasar akan betul-betul terfragmentasi menjadi jutaan niche, merata, dan ”flat”.
WOW…ini tentu perubahan yang sangat-sangat mendasar, dan bisa dibayangkan bagaimana dunia bisnis nantinya akan terdestruksi secara mendasar dengan implikasi yang mahaluas oleh terbentuknya long tail market ini.
Dengan munculnya jutaan niche misalnya, dipastikan akan muncul jutaan perusahaan dan individu yang bermain di pasar mini ini (niche players). Kalau sekarang ini umumnya 80% pasar suatu industri dikuasai oleh big five atau big ten (raksasa seperti GM-Ford-Chrysler yang kini kembang-kempis; juga GE, juga Wal-Mart, juga Microsoft) maka nantinya komposisinya akan berbalik, di mana 90 % pasar dikuasai oleh ribuan bahkan jutaan niche player.
Jadi, terjadi semacam ”egaliterianisasi pasar”. Ini saya kira merupakan creative destruction terbesar di awal abad XXI ini.
Saya tambah penasaran: “Bagaimana semua ini terjadi?”
Biangnya ternyata komputer dan internet.
PERTAMA, karena kini ”produsen” tak lagi didominasi oleh perusahaan besar karena alat produksi menjadi kian murah bahkan COSTLESS. Kalau alat produksi menjadi costless maka jutaan perusahaan kecil atau bahkan individu bisa menjadi produsen yang sangat kompetitif.
Ambil contoh, dengan modal PC kini Anda bisa menulis dan menerbitkan buku Anda dalam bentuk ebook tanpa bantuan Prentice-Hall atau Gramedia.
Dengan modal handycam, alat rekam sederhana, dan PC (yang diperlengkapi desktop music and video editing software) Anda juga bisa memproduksi film pendek atau album tanpa butuh bantuan Multivision Plus atau Sony Music.
“Now everybody can be a publisher or music producer!!!”
KEDUA, biaya distribusi melalui internet kian kecil bahkan COSTLESS. Jutaan individu bisa membuat buku atau album musik akan berarti hanya jika buku album itu bisa didistribusikan, dipasarkan, dan dinikmati oleh pelanggannya.
Blog, situs iTune, eBay, atau Netflix memungkinkan Anda mendistribusikan dan menemukan pasar (niche) bagi buku dan album bikinan Anda.
Kalau Wal-Mart butuh miliaran dolar-investasi untuk pengadaan ribuan truk, ribuan gudang, ribuan toko, belum lagi supply-chain software yang mahalnya minta ampun-kini Anda butuh Anda butuh biaya yang praktis nol alias costless untuk menjadi distributor buku, album, atau produk ukiran Jepara Anda.
Now everybody can be a distributor!!!
KETIGA, kedua fenomena di atas pada gilirannya akan memicu “nyambungnya” supply dan demand. Dari sisi supply akan muncul ”jutaan produsen” alias para niche player baik perusahaan maupun individu. Dari sisi demand akan muncul.
Disarikan dari buku: Crowd, Yuswohady, 17-13.