S
ATU dari 50 ide dalam buku The Future ini adalah Demokrasi Digital, yang menyebut tentang “pemerintahan rakyat oleh rakyat. Digitalisasi meniscayakan pemerintah mendengarkan warga lebih saksama lagi pada masa depan karena akan ada lebih banyak lagi pemilih bisa mencipta, menyebarluaskan, dan berkomentar atas ide kebijakan tanpa harus menjadi anggota partai, kampanye PR, atau iklan televisi.
Masa depan itu tak tertulis, namun bagaimana kita membayangkannya bisa mempengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana masa lalu perorangan dan kolektif menjadikan siapa kita, dan bagaimana kita bertindak sekarang ini.
(Richard Watson, dalam Pengantar The Future – 50 Ideas You Really Need to Know, Quercus, 2012)
Futuris Alvin Toffler menambahkan, “teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi pas untuk peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita sudah ketinggalan zaman.
Selain “demokrasi digital” ide “gila” lain yang diangkat–mungkin akan mewarnai peradaban kita tahun 2020, 2050, atau 2100-adalah “habisnya sumber daya”, “komputasi kuantum dan DNA”, dan “Manusia versi 2.0”.
Boleh jadi itu ide untuk masa depan yang masih jauh. Tetapi, masa depan itu niscaya datang. Apa penggeraknya? Mantan Wakil Presiden AS Al Gore, dalam karyanya The Future (Random House, 2013) menyebut, ada enam penggerak perubahan global paling penting. Keenamnya tidak saja konvergen–memusat–tetapi juga berinteraksi satu sama lain.
Tentu kita berkepentingan untuk merebut kembali kendali nasib kita dan membentuk masa depan. Menurut Al Gore, yang dituntut kemampuan menghadapi, pertama, ekonomi global yang dituntut kemampuan menghadapi, pertama, ekonomi global yang makin saling terhubung. (Kita sudah menyaksikan fenomena ini bukan saja ketika pecah krisis 1997, tetapi juga krisis 2008, dan 2013).
Kedua, munculnya jejaring komunikasi elektronik berlingkup dunia yang menghubungkan pemikiran dan perasaan miliaran orang dan menautkan pemikiran dan perasaan miliaran orang dan menautkan mereka dengan volume data yang tumbuh semakin cepat (seperti halnya Facebook).
Ketiga, munculnya keseimbangan politik, ekonomi, dan kekuatan militer sama sekali baru yang secara radikal berlainan dengan apa yang ada di paruh kedua abad ke-20.
Keempat, munculnya pertumbuhan cepat, tetapi tak berkelanjutan: dalam kependudukan, kota, konsumsi sumber daya, habisnya lapisan subur tanah.
Kelima, munculnya teknologi sains material, genetika, biokimia, biologi, revolusioner yang memungkinkan menata ulang desain molekuler semua materi padat.
Keenam, munculnya hubungan sama sekali baru antara daya peradaban manusia dan sistem ekologi Bumi. (Ini terkait dengan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global).
Trend-trend baru yang kita amati sebagian masih membawa ciri lama atau setidaknya telah kita kenali. Namun, bahwa penulis masalah internasional seperti Hedley Bull masih memberi judul bukunya The Anarchical Society (2003) menyiratkan, ada potensi “ketidak-tertiban” dalam sistem ataupun perkembangan hubungan internasional yang dalam realitanya memang amat dinamis.
Bangkitnya China semenjak program modernisasi yang dilancarkan Deng Xiaoping 1979 menghadirkan tata dunia baru yang sedikit atau banyak menimbulkan gegar dalam tata dunia yang sebelumnya bercorak dwipolar semasa Perang Dingin, atau multipolar setelahnya.
Pelbagai dinamika baru jelas menuntut respons memadai setiap pemimpin bangsa, yang tidak mau bangsa dan negaranya menjadi obyek yang senantiasa terombang-ambing dalam guncangan dan ketidak-pastian dunia–seperti disinggung di atas–setelah tahun 1997/ 1998 berulang kembali tahun 2008/ 2009 dan sejumlah simptomnya muncul kembali tahun 2013.
Respons Belum Memadai
Terhadap pelbagai prospek perubahan sejauh ini, pemerintahan demi pemerintahan boleh jadi telah memperlihatkan upaya merespons, kalaupun itu berangkat dari insting.
Terakhir, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan Komite Inovasi Nasional (KIN) selain Komite Ekonomi Nasional, serta Program Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Indonesia juga ambil bagian dalam upaya mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) yang butir-butirnya sejatinya adalah akar problem dasar nasional.
Namun, seperti KIN yang semula diproyeksikan bisa ikut menjadi katalis transformasi ekonomi Indonesia menjadi yang berbasis Iptek dan inovasi, dalam perjalanannya juga kempis di tengah jalan. Inisiatif meningkatkan anggaran riset dari 0,07 persen PDB menjadi 1 persen, terasa semakin jauh panggang dari api.
Penyebabnya, tersedotnya sumber daya waktu, tenaga dan pikiran Pemerintah untuk urusan (survival) politik, satu distraksi yang harus ditebus mahal dengan pupusnya peluang membuat langkah-langkah besar.
Dengan energi banyak tersedot tersebut, kinerja ekonomi tak bisa lebih optimal dari apa yang bisa dicapai sekarang. Kalaupun ada pertumbuhan sekitar 6 – 6,5 persen, impaknya bagi kemajuan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. (Kita masih ingat relasi berapa lapangan kerja yang bisa diciptakan untuk setiap persen pertumbuhan yang dicapai).
Selain kesenjangan–seperti diperlihatkan indeks gini–yang membesar, ternyata fundamental ekonomi Indonesia tidak sekokoh seperti banyak diklaim. Karena amat tergantung pada impor untuk hampir sebagian besar kebutuhan, defisit perdagangan tak terelakkan. Terjadi fenomena kelangkaan berbagai komoditas yang sebelum ini tidak atau jarang, kita dengar. Sementara itu, kurs rupiah begitu rentan terhadap guncangan eksternal.
Menyongsong Pemilu
Fokus bangsa Indonesia setahun ke depan tak ayal lagi adalah pemilu legislative dan pemilihan presiden. Dari luar, terkesan kita telah cukup dewasa untuk mempraktikkan demokrasi.
Di kalangan concerned citizen (warga peduli) masih sering muncul argumen, yang kita jalankan sejauh ini baru demokrasi formal prosedural. (Ini pun masih diberi catatan tentang kisruhnya DPT, misalnya.) Demokrasi yang maslahat, di mana hasil pileg maupun pilpres, mampu membawa bangsa kepada lompatan kuantum kemajuan, ibaratnya masih “Menuggu Godot”.
Bayangkan kemenangan golput terpapar di depan mata ketika rakyat pemilih kehilangan kepercayaan pada sistem politik. Tetapi jelas, rakyat pemilih perlu ambil bagian dalam proses demokrasi yang akan menentukan kehidupan mereka, setidaknya untuk jangka lima tahun ke depan, sekalipun ada catatan tentang tata caranya.
Selain sistem politik yang kuat dirasakan bernuansa transaksional dan buntutnya mudah menjerusmuskan praktisinya dalam praktisinya dalam praktik korupsi, elite politik Indonesia harus pula bergegas merombak total sistem hukum.
Jika kemarin kita sering mendengar wacana amputasi elemen yang tidak berfungsi baik, kini kita diingatkan pada konsep “creative destruction”. Sebagaimana dicetuskan ekonom Joseph Schumpeter Capitalism, Socialism and Democracy (1942), destruksi kreatif meminta dilakukannya “proses perubahan industri dengan terus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus menghancurkan yang lama, dan tanpa henti mencipta yang baru.” Ada alasannya kalau penghancuran kreatif ini kita lakukan tidak saja untuk ekonomi, tetapi juga untuk politik dan hukum.
Mimpi dan PR-nya
Prediksi McKinsey, Indonesia akan menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia dalam kurun 1,5 dekade ke depan tentu saja membesarkan hati elite. Sama seperti ketika media.
“Bayangkan kemenangan golput terpapar di depan mata ketika rakyat pemilih kehilangan kepercayaan pada sistem politik. Tetapi jelas, rakyat pemilih perlu ambil bagian dalam proses demokrasi yang akan menentukan kehidupan mereka, setidaknya untuk jangka lima tahun ke depan, sekalipun ada catatan tentang caranya,”
Barat menyebut Indonesia punya “golden chance” untuk menjadi negara maju. Satu hal harus kita sadari ketika mendengar kata “prediksi” atau “peluang” di dalamnya ada persyaratan. Alih-alih menjadi ekonomi nomor tujuh, gonjang-ganjing sekarang, di tambah faktor-faktor penggerak – atau bisa juga disebut “pengguncang- seperti dalam The Future-nya Al Gore, mengandung potensi untuk memelorotkan peringkat Indonesia.
Tentunya kita juga awas terhadap faktor-faktor yang membuat satu negara disebut sebagai negara gagal. Pemikiran dalam Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (Crown Business, 2012) bisa menjadi satu acuan menjauhkan dari faktor-faktor yang menjadikan RI negara gagal.
Mengutip ucapan warga yang demo di Lapangan Tahrir, Kairo, buku ini menyebut korupsi yang marak sebagai salah satu pemicu, baik revolusi yang menjatuhkan Presiden Husni Mubarak, maupun yang membuat Mesir tak kunjung jadi negara maju.
Satu hal yang juga tak disangsikan, menjadi “ekonomi nomor tujuh” mimpi yang harus diwujudkan dengan kerja keras dan mentalitas baru. Kembali pada buku Why Nations Fail, ternyata lembaga-lembaga politik dan ekonomi buatan manusialah yang jadi penentu penting bagi kesuksesan – atau sebaliknya kegagalan – ekonomi satu negara.
Dua Korea, misalnya bisa dikatakan bangsa homogen. Tetapi, rakyat Korea Utara termasuk paling miskin, sementara saudara mereka di Korea Selatan termasuk paling kaya. Perbedaan antara kedua Korea disebabkan politik yang melahirkan dua entitas diatas. Ringkasan, bukan kultur, bukan geografi yang menentukan kemakmuran atau kemelaratan, tetapi tatanan (dan praktik) politik dan ekonomi.
(Thesis Why Nations Fail memang terdengar kontras dengan wacana yang digaungkan Culture Matters – How Values Shape Human Progress, kumpulan tulisan seminar Harvard yang disunting Samuel Huntington dan Lawrence Harrison tahun 2001, yaitu kemajuan bangsa terutama karena faktor kultur. Bangsa yang antara lain, memberi perhatian pada pendidikan, hemat, lebih berpeluang maju).
Dengan praktis masih berbekal nilai-nilai lama, kita beroleh kemajuan selama satu dekade terakhir. Namun dengan masih banyaknya target MDGs yang belum tercapai, kita harus berani mengatakan, pencapaian yang ada masih minimal. Padahal kini kita sudah akan melangkah ke era” pembangunan pasca-2015”.
Meminjam semangat High Level Panel yang menyiapkan Agenda Pembangunan pasca MDGs (2015), karakteristik pembangunan yang dianjurkan adalah “berkelanjutan, berkeadilan, dan ramah lingkungan”. Sejauh kita gagal membongkar kebiasaan lama melalui creative destruction, agenda pasca-2015 akan sulit kita capai, sebagaimana kita kedodoran dalam upaya mencapai MDGs.
Sebagaimana diulas MIT Technologi Review (Sept-Oct, 2013), dunia membutuhkan inovator dan pemandang masa depan (visionary) yang unggul. Pemimpgin mendatang Indonesia pun tak pelak lagi diniscayakan memilik trait atau bawaan serupa itu.
Tampak gamblang, paparan pekerjaan rumah untuk bangsa Indonesia, bukan hanya bagi presiden yang terpilih dalam pilpres 2014, amat banyak. Terus mempersiapkan diri dari bencana karena seumur-umur kita hidup di wilayah Cincin Api, mengenyahkan hobi mengimpor apa saja, menegakkan kedaulatan pangan dan energi, memberantas praktik korupsi masif, menegakkan keadilan (karena tak memadai jika yang tegak hanya hukum), dan mentransformasi ekonomi dari yang berbasis pada sumberdaya alam ke ekonomi kreatif berbasis pengetahuan, tak syak lagi menjadi agenda pokok sebagai menu presiden mendatang.
Bangsa pun–selain warga dan bisnis–akan ditata ulang era digital baru. (Lihat The New Digital Age, Eric Schmidt dan Jared Cohen, 2013). Naïf kalau kita masih belum kunjung juga tercerahkan dan terus asyik dengan agenda “business as usual”.
Disarikan dari buku: Menatap Indonesia 2014, Ninok Leksono, 3-10.