M
eski mungkin terkesan jelas, kaitan media dan kuasa sebenarnya tidak mudah diurai dengan memadai, apalagi untuk tahu dampaknya pada hidup bersama kita. Yang kita tahu, makin banyak yang khawatir media dimanipulasi politisi demi meraih kuasa. Dengan Pemilu 2014 di depan mata, apa presisnya peran media?
Sejak Reformasi 1998, lanskap media konvensional di Indonesia berubah drastis. Dari hanya 279 perusahaan media cetak dan 5 stasiun televisi swasta pada 1998, angka in menjadi hampir tiga kali lipatnya kurang dari satu dekade berikutnya. Sementara itu, di republik ini kini ada lebih dari 80 juta pengguna internet, lebih dari 29 juta pengguna Twitter, lebih dari 64 juta pengguna Facebook, dan tercatat ada lebih dari 7 juta blog. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (2012) menyatakan, kini internet menjadi sumber berita kedua terbesar setelah TV.
Data di atas menunjuk satu fakta, media makin besar perannya dalam kompetisi merebut kuasa. Sudah menggejala, layar kaca kini makin menjadi alat penangguk suara. Wajah peserta pemilu dan pesan mereka mulai mendominasi. Media online seperti Twitter, blog dan Facebook pun bernasib sama. Kampanye politik mulai memenuhi ruang siber dalam bentuk status blog, social network, ataupun kicau para polisi dan pendukungnya.
Bagaimana Kita Memahami Situasi Ini?
Kira-kira ada dua cara pandang melihat gejala ini. Yang pertama, meratap dan menggugat netralitas media dalam politik. Semantara netralitas media berbasis internet masih diperdebatkan, sedangkan netralitas media konvensional makin diragukan. Sejumlah 455 perusahaan media di Indonesia dimiliki tak lebih dari selusin pengusaha; sebagian di antaranya adalah politisi yang akan ikut rebutan suara (Nugroho et al, 2011). Maka, mengandaikan netralitas semua media konvensional mungkin tak hanya naïf, tetapi juga berbahaya.
Tragedi Kita
Memang fitrah media, meneruskan gagasan Habermas (1984, 1989), adalah penyedia ruang publik sebagai fondasi bangunan demokrasi dan keadaban masyarakat. Ketika sifat publik media itu hilang karena turun derajatnya menjadi sekadar alat kuasa, ia kehilangan alasan-alasannya. Dalam masyarakat beradab, hal ini adalah tragedi.
Cara pandang kedua melihat semua gejala ini sebagai penanda munculnya era baru dalam politik. Media tak hanya alat pewarta demokrasi. Ia adalah ruang yang harus direbut untuk menanamkan pengaruh dan kuasa itu sendiri (Castells, 2010). Karenanya netralitas media itu ilusi belaka (Bagdikian, 2004).
Cara pandang ini mungkin kedengaran pragmatis, tetapi sejatinya ia menunjuk pada satu gagasan : kekinian dan relevansi politik adalah kekinian dan relevansi media. Gampangnya, praktik merebut, dan tentu saja mempertahankan, kuasa makin ditentukan corak penguasaan terhadap media.
Dalam kedua cara pandang ini, bagaimana kita bisa meneropong peran media pada Pemilu 2014?
Media konvensional, khususnya TV, tampaknya masih akan menjadi alat utama memengaruhi publik dalam perebutan suara. Dengan penetrasi mencapai 98 persen (BPS, 2013), TV akan menjadi kanal paling penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta pemilih pada Pemilu 2014 (KPU, 2013). Parpol dengan kedekatan pada stasiun TV tertentu sudah pasti akan memanfaatkannya untuk kepentingan meraup suara. Justru aneh kalau tidak mencurigainya.
Sementara itu, media berbasis internet besar kemungkinan digunakan menggaet suara kaum muda yang akrab teknologi. Parpol dan politisi yang fasih menguasai media sosial berpeluang besar menjaring suara 30 juta pemilih berusia 17-23 tahun dimana 22 juta di antaranya adalah pemilih pemula (ibid). Persoalannya, kebanyakan dari pengguna internet dan media sosial ini terkonsentrasi hanya di kota dan didaerah maju di Jawa- Bali-Sumatera. Parpol yang berstrategi menggunakan media baru ini harus memperhitungkan digital divide ini.
Upaya menggaet suara lewat media, dalam sejarah politik Indonesia, mungkin tak akan pernah lebih penting daripada yang akan terjadi pada Pemilu 2014 ini. Satu sebabnya, partisipasi masyarakat dalam pemilu selama ini terus turun, dari 92,7 persen (1999) menjadi 84,07 persen (2004), dan 71 persen (2009). Tentu banyak faktor yang mempengaruhi.
Yang paling utama barangkali karena masyarakat tak percaya pemilu bisa memperbaiki taraf hidup mereka. Namun, faktor lain yang juga penting adalah karena gagalnya parpol dan politisi mengkomunikasikan diri pada para calon pemilihnya secara efektif lewat media-terlepas dari kualitas individu sang politisi yang tengah memburu kuasa.
Bagaimana Menanggapi
Perkaranya, sejauh apa ruang publik dalam media kita ikut (di) remuk karena perebutan kuasa ini? Ketika layar TV, halaman Koran, dan majalah kita dipenuhi kampanye terselubung ataupun terbuka, ketika ruang online kita dicecar pesan politik parpol dan politisi, bagaimana harus menanggapinya?
Pertama, masyarakat sipil dan pemerintah perlu membangun literasi publik terhadap media secara umum dan komunikasi politik secara khusus. Publik perlu tahu corak komunikasi politik parpol dan politisi, terutama kanal dan strategi komunikasi mereka. Ini tantangan besar karena mayoritas publik sebagai konsumen media sebenarnya tidak melek media, apalagi melek komunikasi politik.
Memang fitrah media, meneruskan gagasan Habermas (1984,1989), adalah penyedia ruang publik sebagai fondasi bangunan demokrasi dan keadaban masyarakat. Ketika sifat publik media itu hilang karena turun derajatnya menjadi sekadar alat kuasa, ia kehilangan alasan-alasanya. Dalam masyrakat beradab, hal ini adalah tragedi.
Kedua, mendesak pemerintah kepastian hukum diterapkannya kebijakan terkait komunikasi politik, khususnya yang mengatur kampanye di ruang publik dan penggunaan media. Manipulasi lewat media akan terus terjadi selama masih ada yang memburu kuasa. Selain itu, media pun tak akan lepas dari risiko bias, utamanya pada apa yang mendongkrak rating mereka. Itu pentingnya kebijakan untuk menjaga dan melindungi fitnah media sebagai salah satu pilar res publica-peradaban dan demokratis.
Helen keller, penulis dan aktivis ternama, berujar, “It is a terrible thing to see and have on vision”. Ia buta-tuli, tetapi mampu menerawang persoalan politik kita hari-hari ini. Sungguh menyedihkan menyaksikan di media kita, parpol dan politisi yang tahu ada tantangan di depan mata tetapi tak punya visi menghadapinya.
Kita punya peluang mengubah hal itu. Penulis adalah peneliti di Universitas Manchaster, Inggris, dan Asisten Ahli Kepala UKP4. Tulisan ini merupakan pandangan dan refleksi pribadi penulis sebagai peneliti.
Disarikan dari buku: Menatap Indonesia 2014, Yanuar Nugroho, 154-159.