D
emokrasi kita tak lagi sama. Sejak era digital, ruang publik maya yang asyik terbuka di samping ruang public nyata yang formal. Ruang publik maya itu telah telah membiasakan kita lebih terbuka, toleran dinamis, dan fleksibel. Perubahan kebiasaan yang membawa warna baru dalam demokrasi ini terlihat jelas di antara mereka yang biasa disebut digital natives, multitaskers, atau generasi Z. Dalam konteks pemilihan umum, mereka adalah para pemilih pemula yang jumlahnya sekitar 19,7 juta orang (Sensus Penduduk 2010). Usia mereka 17-21 tahun.
Sebagai penguasa telatah dunia maya, mereka mengisi ruang publik di media sosial dengan berbagai komentar pedas, lekas dan bergegas. Apa yang “mencuri perhatian” akan jadi pusat perhatian segera. Khas, tanpa beban dan ringan.
Generasi Z ini lahir ketika dunia sudah makin lengkap dengan berbagai perkembangan teknologi digital (1995-2005). Saat belajar membaca dan menulis serta beranjak remaja, disekitar mereka pada Mp3 player, game konsol, game online, hingga yang paling membuat mereka tersita waktunya, media sosial. Mereka adalah anak kandung media sosial.
Dalam keluarga, generasi mereka dibesarkan orangtua dengan penuh perhatian dan kehati-hatian. Ketika masih bayi, mobil yang digunakan ditulisi stiker “Baby on Board”. Apa pum yang diinginkan anak yang tumbuh jadi generasi Z ini berusaha dipenuhi orangtua mereka.
Tanpa Beban Psikologis
Sebagai anak kandung media sosial, mereka siap merespons apa saja yang sedang terjadi. Segala hal yang mencuri perhatian, menghadirkan kegembiraan, kekaguman, dan kejutan mereka akrabi dengan riang. Tidak terkecuali isu politik yang dimainkan generasi sebelumnya. Mereka tidak memiliki beban psikologis untuk berbicara politik. Lahir setelah era Orde Baru tumbang mungkin membawa pengaruh.
Sebagai generasi yang lahir di era baru, setahun ke depan selama Pemilihan Umum 2014, sebagian dari mereka akan menjadi “juri”. Hiruk-pikuk politik generasi Y dan generasi X akan jadi bahan pelibatan dan perbincangan.
Di mata generasi Z, generasi X yang lahir pada 1966-1976 adalah kumpulan yang konservatif yang dilahirkan oleh keadaan yang memaksa. Generasi X dikategorikan generasi yang partisipasi politiknya paling minim. Di Indonesia, generasi ini adalah anak kandung Orde Baru.
William J. Schroer dalam gambarannya tentang generasi X di Sosialmarketing.org menyebut generasi X secara global sebagai lost generation. Di Indonesia, generasi inilah yang akan memperebutkan tampuk kepemimpinan Indonesia dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Di hadapan mereka adalah generasi Z yang akan memilih untuk pertama kali dan generasi Y (lahir 1977-1994) yang tumbuh di era MTV dan peralihan menuju era digital.
Di balik label sebagai sekedar “generasi hore” di bidang politik, generasi Z kini menjadi raja di jagat maya. Mereka bisa dengan pedas mem-bully politikus yang dianggap tak becus memimpin. Sebaliknya, meereka bisa dengan lekas memuja politikus yang mereka sukai tanpa pretensi politik. Mereka bisa bergegas berpindah dari satu isu ke isu lain dengan ringannya.
Generasi ini sangat dinamis. Karena dinamisnya, sifat instan, seketika cair, labil, tak terduga, berpindah-pindah, dan bertahan seketika melekat pada mereka. Pemikir sosial dan kebudayaan Yasraf Amir Piliang mengatakan, perlu strategi “mencuri perhatian” atau “seduksi” tanpa jeda berupa aneka bentuk penampilan luar dan permainan tanda untuk memikat generasi ini.
Fenomena dukungan kepada Joko Widodo ndan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) tahun 2013 adalah contoh kecenderungan ini. Di berbagai media sosial, banyak hasil kreativitas mereka.
Membuat lagu parodi untuk Jokowi hingga kegiatan flashmob dilakukan dan diedarkan di media sosial. Semua dilakukan tanpa beban, lekas dan riang. Tahun politik mendatang aktivitas-aktivitas spontan macam ini akan kerap kita jumpai.
Spontan Bereaksi
Sifat lekas atau spontan bereaksi menanggapi situasi menjadi ciri generasi Z. Kita tengok apa yang terjadi di Yogyakarta. Di media sosial, saat ini sedang digarap kampanye “Jogja Ora Didol” (Jogja Tidak Dijual).
Kampanye ini makin menguat ketika Muhammad Arif Buwono (17), representasi generasi Z, ditangkap aparat pemerintah saat menebalkan mural bertuliskan Jogja Ora Didol di Pojok Beteng Wetan, Yogyakarta.
Arif tergugah menebalkan tulisan itu setelah di sebuah warnet ia mendengar kabar tulisan “Jogja Ora Didol” yang dibuat seniman sebelumnya dihapus petugas. Tanpa berpikir panjang, ia bersama teman-temannya ke lokasi untuk menebalkan tulisan. Aparat lalu membawa Arif ke Balaikota.
Harian Tribun Jogja mengabarkan, ketika Arif ditanya siapa yang menyuruh membuat tulisan itu, ia mengakui tindakannya spontan. “Saya hanya menebalkan tulisan tersebut karena sepakat dengan kalimat Jogja Ora Didol.” Kata Arif.
Arif diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis, 10 Oktober 2013, dan dijatuhi hukuman tujuh hari kurungan dengan masa percobaan 14 hari dan membayar biaya perkara Rp 1.000. Pengadilan ini jadi awal kegiatan seni Festival Mencari Hariyadi. Karena kasus ini, slogan Jogja Ora Didol makin popular di kalangan anak-anak muda dan di media sosial.
Mereka yang tak terhubung dengan misi Festival Mencari Haryadi di Yogyakarta akhirnya tersadarkan, terhubung satu sama lain, dan turut mendukung Jogja Ora Didol. Dalam satu hari percakapan di media sosial bisa mencapai 8.000 lebih menurut Topsy.com.
Hariyadi adalah Wali Kota Yogyakarta yang menjadi sasaran protes setelah dalam pemilu sebelumnya mereka dukung juga. Tak ada beban untuk berganti sikap atau dukungan.
Cara-cara khas generasi Z digunakan untuk merespons isu. Sebaliknya, pemerintah menanggapinya dengan cara-cara khas generasi X yang konservatif.
Setahun ke depan, dengan makin populernya media sosial yang memberikan warna bagi demokrasi, politik, dan partai politik “terperangkap” dalam generasi X tak lagi cukup menggunakan cara lama yang jadi ciri generasi mereka.
Jurang komunikasi dan kondisi paradox dalam demokrasi saat ini harus diatasi. Jika tidak, situasi yang kerap terlihat seperti “enggak nyambung” antargenerasi akan kerap terjadi.
Generasi Z boleh saja dibilang generasi instan atau generasi “About Me” Namun, kerja dan kecepatan mereka tak terkejar mereka yang konservatif serta sedang sibuk mengincar jabatan dan posisi. Mereka saling terhubung, kreatif, merdeka, dan akan jadi penguasa pada saatnya.
Disarikan dari buku: Menatap Indonesia 2014, Amir Sodikin dan Wisnu Nogroho, 142-146.