U
ntuk bisa menempatkan level transformasi itu pada organisasi publik, pertama tentunya harus kita ubah asosiasi kita mengenai kata ‘business‘ yang melekat erat pada contoh-contoh di atas. Dalam konteks ini kata itu tidak harus berarti profit-motive activities, melainkan aktivitas umum yang dilakukan oleh semua jenis organisasi.
Dengan demikian, semua aktivitas organisasi publik, termasuk BPK juga merupakan sebuah ‘bisnis’. Dari pemahaman ini sekarang saya mengajak Anda untuk melihat level mana sebaiknya BPK berada dan dimana posisi organisasi ini dalam kaitan transformasi itu.
Menurut saya, TI yang kita punyai harus bisa membawa BPK berada pada level tiga: business process redesign. Ini adalah tahap yang setidaknya perlu dicapai. Dalam kaitan ini BPK boleh saja punya ambisi untuk berada pada level yang lebih tinggi. Akan tetapi harus diingat bahwa level diatas level tiga mengandaikan adanya jaringan kerja antarorganisasi.
Saya bukan ingin mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin. Level empat atau lima bisa saja diupayakan, tapi ini masih terlalu jauh. Pertama tentu harus ada kenyataan bahwa BPK memang ingin membangun jaringan kerja yang benar-benar hidup, punya aktivitas rutin, dan ada kesalingtergantungan satu sama lain.
Kedua, yang terpenting sekarang menurut saya adalah membenahi kinerja BPK sebagai sebuah lembaga dengan investasi TI besar. Jadi orientasinya masih pada upaya menjadikan TI di BPK agar menampakkan potensinya sebagai alat transformasi.
Alasannya karena TI masih hanya sebatas artefak yang tidak bisa bicara apa-apa mengenai transformasi. Komputer canggih masih sering untuk main game, dan jaringan komputer hanya memberi kesempatan pegawai untuk surfing internet untuk tujuan yang tidak ada kaitan dengan kepentingan organisasi.
Dengan demikian fokus kita tentu pada pembenahan internal, dengan kemungkinan mencapai level tiga. Akan tetapi meskipun realistis, ini pun bukan pilihan yang mudah. Pada level ini orientasi kita bukan lagi pada fungsi atau departemen, melainkan proses. Yang dimaksud proses disini adalah aktivitas utama yang menjadi pilar keberadaan BPK.
Sebagai contoh, audit. Dalam konteks ini, keseluruhan proses audit harus dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri tidak hanya anggota tim dan ketua tim saja, melainkan mencakup pejabat tertinggi di mana keputusan soal temuan audit itu dibuat. Sekilas tampaknya kita sudah melakukan hal ini, tapi saya rasa belum.
Mengapa? Karena proses itu terputus setelah tim audit menyerahkan hasil kerjanya kepada, misalnya kepala perwakilan. Setelah itu komunikasi hanya terjadi antara kepala perwakilan dan pejabat di BPK Jakarta. Di sini terlihat bahwa orientasi fungsional dan departemental sangat kental.
Jika ingin memakai TI untuk mendukung proses itu, kita tentu akan menemui kesulitan sebab logika teknologi tidak bisa dikotak-kotak oleh fungsi atau departemen. Jika memang berniat memakai TI sebagai platform utama dalam proses audit di BPK, yang harus dilakukan tentu mengubah department-oriented menjadi process-oriented. Salah satu konsekuensinya, komunikasi harus terus dilakukan antara anggota tim sampai dengan, misalnya, auditor utama, secara langsung.
Jika seorang auditama ingin mengoreksi hasil audit, misalnya, ia tidak perlu menghubungi kepala auditorat. Ia bisa langsung bertemu dengan tim, membahas persoalan yang muncul, dan mencari solusi terbaik secara terus-menerus. Dan, semua ini dilakukan dengan kekuatan teknologi informasi. Contoh paling sederhana, dan ini bukan yang utama, adalah komunikasi onIine dan penyampaian laporan secara elektronik.
Mengingat kerterbatasan media, saya hanya bisa mengatakan bahwa salah satu isu utama pemanfaatan TI pada level ini adalah soal perubahan asumsi kita mengenai organisasi. Process-oriented mengandaikan ditiadakannya sekat-sekat birokrasi.
Ia bisa berfungsi baik dalam struktur organisasi yang tidak lagi hirarkis, melainkan flat dan dengan kultur yang egaliter dimana semua individu yang masuk dalam satu tim ‘besar’ untuk audit duduk ‘semeja dan makan sepiring berdua’. Yang menjadi pertanyaan tentunya: apakah bisa?
Penutup
Sebagai kata akhir, difusi teknologi dalam sebuah organisasi memang memunculkan banyak tantangan, terlebih jika organisasi memang ingin memanfaatkannya secara efektif sebagai media transformasi.
Dalam banyak kasus proses transformasi itu gagal hanya karena persoalan non teknis, seperti perubahan kultur. Jika kita kembali pada pertanyaan ‘apakah bisa’ kita melakukannya, hal itu jelas sangat tergantung pada individu yang punya kekuasaan dalam mengambil keputusan di lembaga ini.
Dan keputusan tersebut salah satunya berkaitan dengan kemauan untuk memangkas birokrasi, yang menurut saya tidak pernah terbukti efektivitasnya bagi organisasi sebab hanya menjadi beban, mengurangi kecepatan kerja, dan sering kontraproduktif.
Sekali lagi, persoalannya adalah apakah kita berani menantang asumsi-asumsi manajemen yang kita punyai dan berani beralih pada prinsip organisasi yang lebih fleksibel dan egaliter, dimana teknologi informasi dapat beradaptasi dan mengeluarkan potensinya yang luar biasa dalam meningkatkan efisiensi organisasi dan melakukan transformasi.
Disarikan pada file: Teknologi Informasi dan Transformasi Organisasi, Eko Yulianto, 5-6.