T
eknologi informasi (TI), seperti komputer dan internet, mempunyai kekuatan dalam mengubah manusia dalam melakukan banyak hal karena menawarkan kecepatan, akurasi, kapasitas, dan interaktivitas yang tidak terbayangkan sebelumnya. Untuk alasan ini banyak organisasi, baik privat maupun publik, mengadopsinya sebagai salah satu alat perubahan.
Setidaknya mereka ingin memanfaatkan teknologi ini untuk mengotomatisasi aktivitas organisasi dengan harapan akan bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.
Demi tujuan itu mereka rela mengeluarkan dana jutaan bahkan milyaran rupiah untuk membeli dan meng-install TI untuk kepentingan organisasi.
Meskipun demikian keputusan investasi tersebut bukan selalu disertai justifikasi yang memadai. Untuk itu, beberapa pertanyaan kritis bisa saja diajukan, misalnya: Apakah investasi tersebut memang bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas seperti yang diharapkan? Apakah TI yang diadopsi bisa merubah organisasi, memperkuat daya saing, meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki kualitas produk dan layanan?
Strassman (dikutip oleh Venkatraman, 1994) bahkan mengungkapkan kenyataan yang sungguh menarik berkaitan dengan hal ini. Dia menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara level investasi teknologi informasi dengan indikator kinerja organisasi, misalnya penjualan, laba per karyawan, dan nilai saham.
Itu artinya tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi investasi TI, semakin produktif sebuah organisasi. Tidak sedikit perusahaan yang mengalami justru kegagalan bisnis karena salah investasi TI atau tidak bisa memanfaatkan TI untuk kepentingan bisnis mereka.
Investasi TI memang selalu diliputi berbagai isu dan debat mengenai kemanfaatannya. Pengukuran ‘return’ investasi dan dampak riil terhadap organisasi menjadi sesuatu yang lazim di dunia swasta sebab setiap rupiah yang mereka keluarkan memang harus dipertanggungjawabkan. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan adalah kenyataan bahwa hal serupa jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan di organisasi publik. Tidak adanya publikasi mengenai kegagalan investasi TI di sektor pemerintahan bukan berarti tidak ada masalah.
Dugaan saya tentu yang terakhir, tidak pernah diukur. Parahnya, setiap investasi teknologi senilai ratusan juta rupiah di sektor ini hanya disertai justifikasi retorik seperti efisiensi, atau bahkan alasan yang terkesan mengada-ada: sekedar mengikuti tren dan biar dianggap modern. Kalaupun ada, tidak banyak organisasi publik yang berusaha menempatkan TI dalam kerangka strategi organisasi dan benar-benar menjadikan TI sebagai sarana transformasi.
Dilandasi pemikiran tersebut, artikel ini secara khusus akan mengajak Anda untuk meletakkan TI dalam konteks transformasi organisasi kita, BPK, yang telah, sedang, dan akan terus melakukan investasi TI. Dari sana diharapkan muncul perspektif yang bermanfaat terutama dalam memandang investasi itu secara kritis, tidak take it for granted, sehingga mampu memberikan pemikiran yang konstruktif agar investasi tersebut tidak sia-sia. Argumentasinya sederhana saja, yaitu bahwa dana investasi tersebut diperoleh dari pajak yang bayar oleh rakyat sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan untuk TI harus benar-benar berdampak positif bagi institusi yang menjadi sandaran akuntabilitas publik di negeri ini.
Disarikan pada file: Teknologi Informasi dan Transformasi Organisasi, Eko Yulianto, 1-2.