D
alam tahun 2008, yang paling tua dari generasi ini telah berusia 31 tahun. Yang paling muda berusia 11 tahun. Di seluruh dunia generasi ini membanjir ke dalam dunia kerja, ke dalam dunia perdagangan, dan ke dalam setiap ceruk dalam masyarakat. Mereka membawa otot demografis, kecerdasan media, daya beli, model-model baru untuk kolaborasi dan cara menjadi orangtua, entrepreneurship, dan kekuatan politik ke dalam dunia.
Sisi Gelap
Akan tetapi banyak kekhawatiran dan kritik terhadap generasi ini yang disuarakan oleh setiap orang, dari kalangan orangtua hingga para pengusaha yang frustasi. Banyak tokoh pendidikan, jurnalis, dan cendekiawan menghadirkan pandangan-pandangan yang skeptik, negatif, bahkan sinis tentang Generasi Internet ada 10 hal yang mereka angkat:
Mereka lebih bodoh daripada kita seusia mereka. Anda mendengar ungkapan yang beragam seputar tema yang popular ini. Mereka tidak tahu apa-apa, tulis Mark Bauerlein dalam the Dumbest Generation: How the Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardies Our Future. Menurut Bauerlien. Net Gener merupakan “potret kebodohan yang luar biasa dan merata”. Semua gadget ini bahkan dapat membuat sebagian orang, termasuk Net Gener, menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan kelainan akibat kekurangan perhatian, kata psikiater Edward Hallowell dalam bukunya, CrazyBusy.
Hasilnya: sebuah generasi yang dangkal, bingung yang tidak mampu berfokus pada apa pun. Kemudian ada serangan frontal habis-habisan yang datang dari novelis Robert Bly: “Sekarang kita berbohong kepada diri sendiri tentang renaisans yang akan didatangkan oleh komputer. Alat ini tidak membawa apa pun. Makna semua ini adalah bahwa neo-korteks akhirnya melahap dirinya sendiri.” Mereka tidak membaca dan buruk dalam berkomunikasi. Pengaruh online selama ini tercermin di sekolah-sekolah dan universitas-universitas tempat mereka menunjukkan prestasi buruk dalam ujian-ujian.
Mereka screenager, Net addicted, kehilangan keterampilan sosial, dan tidak mempunyai waktu untuk olahraga atau kegiatan-kegiatan yang menyehatkan. Waktu yang dihabiskan untuk online seharusnya dapat digunakan untuk olahraga dan percakapan tatap muka, hasilnya adalah sebuah generasi yang penuh dengan orang-orang kegemukan dan kikuk. Dan ketika mereka mengidap ketergantungan pada video game, sebagian mengatakan, hasilnya bisa lebih buruk. Mothers Against Videogame Addiction and Violence (MAVAV). Misalnya menggambarkan video game sebagai “penyakit ketergantungan dengan pertumbuhan paling pesat di dunia dan bahaya akibat kesembronoan paling besar bagi anak-anak masa kini-dibanding penyalahgunaan obat bius dan alcohol.
Mereka tidak tahu malu. “Sudah menjadi sangat biasa belakangan ini bagi gadis-gadis untuk mengunggah foto mereka sendiri yang provokatif ke media online,” kata M. Gigi Durham, tokoh serius yang mengarang The Lolita Effect, mengingatkan. Kaum muda, tanpa sadar bahwa langkah itu akan berbalik membahayakan mereka, dengan ceroboh memberikan semua informasi pribadi ke media online, entah itu kepada agen penerimaan mahasiswa baru, perusahaan yang membuka lowongan atau agen pemasaran yang yang beriktikad buruk, cyberbully, atau bahkan seorang predator. Orangtua, tokoh pendidikan, dan kalangan perusahaan tidak habis pikir ketika mereka menyaksikan bermacam-macam kepolosan dalam pengungkapan secara digital yang diunggah ke media online untuk dilihat oleh seluruh dunia. Anak-anak tidak mengerti masalah dalam hal ini!
Karena orangtua telah memanjakan mereka, mereka terapung-apung tanpa tujuan dan tidak percaya diri dalam memilih jalan. Itu sebabnya begitu banyak di antara mereka pulang ke rumah setelah selesai kuliah. Mereka betul-betul tidak mampu memanfaatkan kebebasan yang mereka miliki. Orangtua sering mereka senang, tetapi tetangga-tetangga mengangkat alis mereka. Mengapa mereka tidak memulai hidup mereka sendiri? Apakah mereka akan dimanjakan seumur hidup oleh helikopter orangtua yang terbang rendah di atas universitas atau bahkan di atas kantor tempat mereka bekerja?
Menurut William Damon, pengarang the Path to Purpose,” Kaum muda begitu takut dengan komitmen sehingga banyak di antara mereka mungkin tidak pernah menikah, dan mereka begitu ragu soal memilih karier sehingga mereka akhirnya memilih tinggal di rumah orangtua selama-lamanya.” Seminar-seminar seperti Spoiled Rotten: Today’s Children and How to Change Them, oleh mantan penjual telekomunikasi Fred Gosman menasihati para orangtua untuk menerapkan aturan-aturan kedisiplinan yang lebih ketat.
Mereka mencuri. Mereka melanggar hak cipta intelektual, mengunduh musik, saling bertukar lagu, dan berbagi apa pun yang dapat dibagikan melalui jaringan peer-to-peer tanpa peduli kepada hak-hak yang dimiliki oleh para pencipta atau pemilik. “Ketika Anda online dan mengunduh lagu-lagu tanpa permisi, itu sama dengan mencuri.
Kata Recording Industry Association of America di situs Web-nya. Itu harus dianggap perbuatan criminal, kata industri rekaman. Itu sebabnya mereka merasa benar ketika memperkarakan anak-anak ke pengadilan. Kemudahan Net Gener menggunakan Internet juga menjadikan mereka pakar-pakar plagiarism.
Mereka melakukan bullying kepada teman secara online. coba lihat delapan remaja, enam diantara mereka perempuan, yang menyiksa seorang remaja dalam bulan April 2008 dan mengunggahnya ke YouTube. Berikut ini penjelasan Glenn Beck, pembawa acara televise kontroversial: “Kaum remaja hidup dalam realitas maya dengan sebuah kegemaran menikmati tontonan kekerasan dan pelecahan, dan itu semua demi ketenaran serta kekayaan.”
Mereka beringas. Coba perhatikan dua remaja yang melakukan pembantaian masal dalam tahun 1999 di Columbine High School dekat Denver Colorado. “Seandainya tidak ada kombinasi antara video game ekstra ganas dan keterlibatan sangat mendalam anak-anak ini serta ketergantungan atau ketagihan mereka terhadap permainan ini, ditambah dengan kepribadian dasar anak-anak itu, pembunuhan dan pembantaian ini tidak akan terjadi.” Kata sebuah surat gugatan kepada perusahaan-perusahaan pembuat komputer yang telah digunakan oleh anak-anak. Menurut MAVAV, industri permainan video mempromosikan “kebencian, rasisme, seksisme, dan kecenderungan yang paling meresahkan: terbentuknya kelompok-kelompok ekslusif, sebuah fenomena video game bawah tanah yang mirip sekali dengan fenomena gangster.”
Mereka tidak memiliki etos kerja dan akan menjadi angkatan kerja yang mengecewakan William Damon, dalam The Path to Purpose, mengatakan bahwa para siswa dewasa ini seperti terapung-apung tanpa arah, tanpa petunjuk tentang apa yang mereka inginkan atau akan menjadi apa di masa mendatang. Mereka para “slacker” yang merasa tidak memiliki kewajiban untuk bekerja, dan sewaktu masuk ke angkatan kerja mereka mengajukan bermacam-macam tuntutan yang tidak realistis kepada perusahaan atau lembaga atas segala sesuatu, dari teknologi yang canggih hingga pendekatan-pendekatan baru kepada manajemen.
Banyak perusahaan dan lembaga pemerintah melarang jaringan sosial macam Facebook karena kaum muda “senang menyia-nyiakan waktu mereka di situ.” “Mereka sangat tidak siap menghadapi tuntutan hari ini (dan hari esok) di dunia kerja.” Menurut sebuah konsorium yang dipimpin oleh Conference Board.
Ini generasi terkini “aku” yang narsistis. “Mereka jauh lebih narsistis daripada kaum muda 25 tahun yang silam,” kata Jean Twenge, guru besar yang mempelajari tanggapan-tanggapan para mahasiswa kepada Narcissistic Personality Inventory antara awal 1980-an dan 2006. “Teknologi masa kini menyulut kenaikan tingkat narsisisme,” kata perempuan itu.” Persis seperti namanya, MySpace mendorong mereka yang cenderung pencari perhatian, sama seperti YouTube.”
Mereka acuh tak acuh. Mereka tidak menganut nilai-nilai dan mereka tidak peduli tentang siapa pun. Minat mereka hanya kultur popular, para pesohor, dan teman-teman mereka. Merka tidak membaca surat kabar atau menonton berita di televise. Mereka mengetahui kabar tentang dunia dari The Daily Show with Jon Stewart di Comedy Central. Mereka tidak ikut pemilihan suara dan tidak ambil bagian dalam kegiatan kemasyarakatan. Ketika mereka menjadi dewasa, mereka akan menjadi warga negara yang buruk.
Profesor Bauerlein merangkum semuanya: “Remaja abad ke-21, yang saling terhubung dan dapat mengerjakan banyak hal sekaligus, otonom namun tergantung kepada teman sepergaulan, tidak melakukan lompatan besar ke depan dalam kecerdasan manusia, berpikir global, atau kesejahteraan sesame pengguna Internet. Tidak diragukan bahwa para pengguna muda telah mempelajari ribuan hal baru. Mereka mengunggah dan mengunduh, menjelajah dan mengobrol, mengirimkan tulisan dan rancangan mereka, tetapi mereka tidak pernah belajar menganalisis sebuah teks yang kompleks menyimpan fakta di kepala mereka, mendalami sebuah keputusan kebijakan luar negeri, belajar dari sejarah, atau mengeja kata-kata dengan benar. Mereka tidak pernah mengakui tanggung jawab mereka kepada masa lalu mereka telah membuka sebuah retakan pada landasan masyarakat kita, dan itu kelihatan dalam tersendat-sendatnya proses peralihan menuju kedewasaan dan keanggotaan dalam kehidupan bermasyarakat.”
Kita harus menyimak dalam-dalam kritik-kritik itu. Mereka bukan datang dari kelompok orang fanatik atau dari penganut ideology garis keras. Robert Bly, misalnya, adalah seorang pengarang dan komentator sosial berpandangan umum, terkenal, telah menghasilkan karya-karya yang laris. Meskipun ada beberapa gagasannya yang menarik dalam tulisan-tulisannya. Sikap menentangnya begitu menonjol sehingga kita semua harus mendengarkannya.
Disarikan dari buku: Grown Up Digital, Don Tapscott, 4-8.