D
alam relasi umum antara Lembaga Donor dan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), lembaga donor, atau penyumbang, adalah pihak yang memberikan sumbangan (bisa dalam bentuk apapun, terutama berbentuk dana), yang tidak mengharapkan manfaat ekonomi apapun dari sumbangan tersebut.
Berbeda dengan pembeli pada sektor bisnis, di mana pembeli (barang atau jasa) akan mengharapkan pengembalian manfaat ekonomi dari penjual melalui barang atau jasa yang dia beli.
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa ada perbedaan jenis, pola dan substansi transaksi antara kedua sektor tersebut, yaitu sektor bisnis dan sektor nirlaba. Tetapi, sektor nirlaba bukanlah sektor yang tanpa transaksi. Lihat sekali lagi, dan kita bisa temukan bahwa sektor nirlaba tetap berbasis transaksi.
Penyumbang berharap melalui sumbangan yang dia berikan kepada OMS dapat menjangkau penerima manfaat. Jadi garis transaksinya adalah: penyumbang OMS → penerima manfaat. Beda dengan sektor bisnis di mana logika transaksinya adalah: pembeli → penjual barang/jas → manfaat diberikan/diserahkan ke pembeli.
Jadi, sektor nirlaba tetap saja basisnya transaksional. Namun memang, pola transaksinya berbeda dengan logika normal sektor bisnis.Nah, jika kita telah memahami bahwa basis hubungan OMS dan penyumbang adalah transaksional (hubungan OMS dengan donor bukan relasi tanpa syarat, bukan unconditional relationship, tetapi condtional transaction), maka kita akan lebih mudah menganalisa pola relasi antara keduanya.
Kini kami ingin menggeser pemahaman melalui gambaran yang sederhana dengan memposisikan penyumbang bukan sebagai pembeli, tetapi lebih sebagai investor.
Lembaga donor memberikan sejumlah dana dengan tujuan investasi, namun hasil investasinya bukan dalam bentuk pengembalian dividen, tetapi lebih pada perbaikan dan perubahan kondisi, situasi, perilaku, posisi dan relasi pada tingkat penerima manfaat.
Maka, tidak sulit untuk memahami mengapa kondisi ketergantungan OMS kepada lembaga donor terbentuk. Karena dalam lini transaksi posisi OMS seakan-akan masih saja sebagai penjual jasa layanan, bukan sebagai manajer investasi. Donor diposisikan/memposisikan diri sebagai pembeli jasa tidak langsung dan bukan sebagai investor.
Pola transaksi yang terjadi:
Lembaga Donor (pembeli) → OMS (penjual jasa/layanan) → penerima manfaat.
Bukan:
Lembaga Donor (investor) → OMS (manajer investasi) → penerima manfaat.
Relasi “pembeli – penjual” dan “investor – manajer investasi” akan sangat berbeda pemaknaan. Misalnya: penjual akan mengembangkan layanan yang berorientasi pada kebutuhan pasar pembeli. Sedangkan manajer investasi akan berlomba-lomba secara kreatif mengembangkan paket inevstasi inovatif yang mampu menarik investor.
Keberlanjutan bagi penjual akan sangat tergantung sejauh mana kualitas layanan jasa mereka, sejauh mana tawaran harga mereka bersaing dengan penjual lainnya, dan sejauh mana segmen pasar pembeli masih membutuhkan jenis layanan yang mereka jual. Sedangkan bagi manajer investasi, keberlanjutan dimaknai dengan sejauh mana mereka mampu mengembangkan terus-menerus skema investasi yang paling menguntungkan tapi tetap aman bagi investor, seiring dengan perubahan pasar global/makro yang terjadi.
Pembeli akan diperlakukan sebagai raja oleh penjual, investor akan diperlakukan sebagai mitra usaha oleh pengelola investasi. Sudut pandang yang sungguh berbeda. Kami meyakini bahwa dukungan lembaga donor akan tetap jadi dukungan terbaik bagi kerja OMS, hanya saja paradigma dan sudut pandang OMS sendiri yang harus mulai berubah dari ‘penjual layanan’ menjadi ‘pengelola investasi’.
Perubahan mindset ini akan berpengaruh besar terhadap cara OMS memperlakukan, memposisikan dan bertransaksi dengan Lembaga Donor (donor bukan lagi diposisikan sebagai pembeli layanan tidak langsung lagi, tetapi sebagai investor sekaligus sebagai mitra). Ketika perubahan mindset ini terjadi, maka penguatan kapasitas OMS sebagai pengelola investasi akan dapat dilakukan dengan cara yang sangat berbeda dibanding sebelumnya saat OMS hanya berposisi sebagai penjual layanan.
Akuntabilitas pengelolaan dana misalnya, akan menjadi prioritas mutlak. Komunikasi publik dan publikasi akan menjadi sangat penting untuk dilakukan (ingat bahwa lembaga donor pasti mewakili sekian juta publik investor di balik punggung mereka). Pengelolaan data, informasi dan pengetahuan, maksimalisasi utilisasi TIK dan penemuan model-model kerja baru menjadi dasar bagi OMS sebagai pengelola investasi donor untuk mengembangkan tawaran investasi baru terus menerus.
Diversifikasi sumber dana dapat pula dilakukan, namun jangan dikerjakan sebagai kepanikan sesaat, tempatkan upaya mobilisasi sumber daya dalam konteks yang holistik dan tidak terpisahkan dari upaya-upaya peningkatan kapasitas di atas, serta juga jangan lepas dari rebranding baru OMS sebagai manajer/pengelola investasi. Kesemuanya, jika diimplementasikan dengan sistematis, akan membuat OMS (dan seluruh komponen di dalamnya) merasakan perubahan DNA organisasi yang luar biasa.
Harusnya OMS sebagai pilar masyarakat sipil di Indonesia, secara rendah hati menempatkan titik permasalahan situasi minimnya dukungan pendanaan sektor nirlaba pada diri kita sendiri. Kenapa? Karena lingkar kendali yang benar-benar sepenuhnya kita kuasai hanya ada pada diri kita sendiri, organisasi kita.
Dan bermula dari titik itu, kita mencoba menemukan solusi kongkrit yang lebih bersifat pondasional namun fokus pada wilayah implementasi manajerial, yaitu institutional re-engineering (rekayasa ulang institusi), demi keberlanjutan pencapaian visi dan mandat pendirian organisasi.
Penulis: Budi Susilo dan Eko Komara.