Y
ang kurang dalam model eceran tradisional adalah perlunya menemukan pembeli lokal. Sebuah gedung bioskop pada umumnya tidak akan mempertunjukkan sebuah film itu dapat menarik setidaknya 1500 orang dalam masa pemutaran selama dua pecan. Itu pada dasarnya sama dengan ongkos sewa sebuah layar.
Sebuah toko rekaman biasa perlu menjual setidaknya empat keeping dari setiap CD per tahun agar pantas dipajang; itu sama dengan ongkos sewa ruang setengah inci di rak pajangan. Begitu pula untuk toko penyewaan DVD, toko video-game, toko buku, dan kios koran.
Dalam tiap kasus, pengecer memilih hanya memajang produk dengan tingkat permintaan yang memadai. Bagaimanapun, masing-masing hanya bisa memanfaatkan populasi lokal yang terbatas-barangkali dengan radius limabelas kilometer untuk gedung bioskop biasa, kurang dari itu untuk toko musik dan toko buku, bahkan lebih sedikit (hanya satu atau dua kilometer) untuk toko penyewaan video.
Untuk sebuah film documenter yang dahsyat, sulit bagi kita untuk bisa mendapatkan penonton sampai setengah juta orang secara nasional yang menjadi masalah (bagi negara seperti Amerika) adalah berapa banyak calon penonton yang ada di bagian utara Rockville, Maryland, atau di antara para konsumen mall di Walnut Creek, California.
Banyak produk hiburan dahsyat dengan potensi sukses yang besar, bahkan secara nasional, tidak mampu menembus batas uji untuk eceran lokal. Sebagai contoh, The Triplets of Bellville, sebuah film yang banyak diulas dan dinominasikan untuk merebut Oscar tahun 2004 untuk karya animasi terbaik, hanya digelar di enam bioskop seAmerika Serikat. Contoh yang lebih mengejutkan lagi adalah nasib naas Bollywood di Amerika. Tiap tahun, industri film India membuat lebih dari delapan ratus judul film panjang.
Ada sekitar 1,7 juta orang India tinggal di Amerika Serikat. Kendatipun demikian, film berbahasa Hindi paling top, Lagaan: Once Upon a Time in India, diputar hanya di dua bioskop di Amerika Serikat. Terlebih lagi, film ini pun salah satu di antara hanya beberapa film India yang diharapkan layak didistribusikan di Amerika Serikat sepanjang tahun itu. Di bawah tirani geografi, calon konsumen yang tersebar terlalu merata sama artinya dengan tanpa calon konsumen sama sekali.
Sebuah kendala lain dari dunia fisik adalah faktor fisik itu sendiri. Spektrum radio hanya mampu menyediakan tempat bagi sekian stasiun pemancar. Begitu pula seutas kabel koaksial hanya mampu menyediakan tempat bagi sekian saluran televise. Dan, tentu saja, program siaran dalam sehari tidak bisa lebih dari duapuluh empat jam.
Yang kurang dari teknologi broadcast adalah mereka pengguna sumberdaya yang terbatas secara royal. Guna mengatasinya penyelenggara harus mengumpulkan pemirsa di satu area geografi-sebuah hambatan besar lain yang hanya mampu diatasi dengan modal besar.
Selama abad yang silam, dunia hiburan telah menawarkan sebuah solusi yang mudah untuk kendala-kendala ini: dengan focus pada peluncuran produk hit. Bagaimanapun, pada masa itu produk-produk hit berhasil membuat bioskop penuh, berhasil membuat rak-rak buku kosong, dan berhasil membuat pendengar dan penonton tidak beranjak dari gelombang atau saluran kesayangan mereka. Tak ada yang salah dengan keadaan itu.
Pakar sosiologi akan mengatakan bahwa hit telah terpateri ke dalam psikologi manusia-bahwa itu merupakan pengaruh perpaduan antara penyesuaian perilaku dan penyebaran informasi dari mulut ke mulut. Dan, tentu saja, sebagian hit yang sehat sungguh layak mendapatkan posisi mereka. Lagu-lagu yang menyentuh, film-film yang inspiratif, dan buku-buku yang mencerdaskan dapat menarik konsumen dalam jumlah besar-besaran.
Namun, kebanyakan kita menginginkan lebih dari sekedar hit. Selera seorang bisa berbeda dari selera umum di suatu tempat. Makin banyak pilihan yang berhasil kita gali, makin besar hasrat kita untuk mendapatkannya. Sayangnya, dalam sekian dasawarsa terakhir, alternatif macam itu telah disingkirkan melalui kebijakan-kebijakan pemasaran paksa yang diterapkan oleh industri-industri karena sangat tidak ingin pasar mereka direbut pihak lain.
Model ekonomi yang digerakkan oleh hit, yang akan dibahas lebih mendalam di bab-bab mendatang, merupakan produk suatu zaman ketika ruang yang tersedia untuk mengantarkan segala suatu kepada setiap orang tidak memadai: tak cukup ruang pajang untuk semua CD, DVD, dan video game yang dihasilkan; tak cukup layar untuk mempertunjukkan semua film yang tersedia; tak cukup saluran untuk memancarkan semua acara televise; tak cukup gelombang radio untuk memainkan semua musik yang diciptakan; dan tak cukup waktu dalam sehari untuk menikmati semuanya dalam tiap slot tadi.
Ini dunia kelangkaan, the world of scarcity. Sekarang dengan distribusi dan penjualan eceran secara online, kita memasuki sebuah dunia yang berkelimpahan, the world of abundance. Perbedaan di antara keduanya mencolok sekali.
Disarikan dari buku: The Long Tail, Chris Anderson. Hal: 3-6.