R
ealitas yang paling menghebohkan di zaman online kita adalah apa pun bisa tersedia. Pengecer-pengecer online menawarkan beragam barang dengan skala yang tak terbayangkan bahkan sampai sepuluh tahun yang lalu, jutaan produk dengan variasi dan kombinasi yang selalu mungkin. Akan tetapi, apakah orang memerlukan pilihan sebanyak ini? Dapatkah kita menanganinya?
Ini pertanyaan yang semakin sering dikedepankan balakangan ini sejalan dengan perkembangan penawaran online. Pandangan konvensional mengatakan bahwa makin banyak pilihan makin baik merupakan sebab itu pengakuan bahwa setiap orang berbeda dan masing-masing boleh menemukan paling sesuai bagi mereka. Akan tetapi, dalam The Paradox of Choice, sebuah buku berpengaruh yang terbit tahun 2004, Barry Schwartz mengatakan bahwa terlalu banyak pilihan tidak hanya membingungkan, tetapi juga membuat orang tertekan.
Ia mengutip sebuah studi yang sekarang terkenal tentang perilaku konsumen di sebuah supermarket. Rincian makalahnya, “Why Choice Is Demotivating,” adalah sebagai berikut.
Peneliti dari universitas-universitas seperti Columbia dan Standford memasang sebuah meja di sebuah toko makanan kemudian menawarkan kepada para pelanggan untuk mencicipi bermacam-macam selai dengan hadiah sebuah kupon senilai satu dolar untuk membeli sebotol selai yang mana pun.
Penelitian diadakan dalam dua putaran. Pada putaran pertama mereka menyediakan enam rasa; sedangkan pada putaran kedua mereka menyediakan duapuluh empat rasa. Para peneliti berhati-hati sekali untuk tidak menyertakan rasa-rasa yang paling umum, misalnya rasa strawberry (supaya konsumen tidak langsung memilih yang biasa mereka pilih). Mereka juga menghindari selai-selai yang terlalu aneh, misalnya yang terbuat dari lemon curd.
Hasilnya jelas: 30 persen pelanggan yang mencicipi selai pada putaran pertama, dengan pilihan hanya sedikit, berlanjut dengan membeli sebotol selai, sedangkan dari putaran kedua, dengan pilihan lebih banyak, hanya 3 persen pelanggan membeli sebotol selai. Yang menarik, putaran dengan pilihan lebih banyak ternyata jauh lebih diminati, dengan perbandingan 60:40. Cuma yang membeli tidak banyak. Makin banyak pilihan yang ditawarkan, makin sedikit orang yang membeli, dan makin sedikit pula orang yang kemudian puas dengan pilihan mereka.
Para pelanggan itu tampak bingung, bahkan tertekan, karena kelimpahan yang mereka hadapi. Mereka merasa harus menjadi seorang ahli untuk bisa menentukan pilihan dengan percaya diri. Penelitian putaran kedua menggiring orang keluar dari zona pemilihan rasa yang aman bagi mereka-strawberry, blueberry, raspberry dan masuk ke zona rasa yang eksotik seperti boysenberry dan rhubarb. Ketidakmampuan membuat keputusan dan keluhan pembeli mulai menghasilkan gambaran yang kabur. Tiba-tiba, seolah-olah masalah yang ditimbulkan terlalu banyak.
Ketika jumlah pilihan terus bertambah, aspek-aspek negatif dari situasi ini mulai muncul. Sewaktu jumlah pemilihan bertambah lagi, aspek-aspek negatif pun meningkat sampai lebih dari takaran. Sampai di sini, alih-alih memerdekakan, pilihan-pilihan itu membuat orang tidak berdaya. Pilihan-pilihan bahkan bisa berubah menjadi tirani.
Sebagai antidote bagi racun zaman modern ini, Scwartz menganjurkan agar kalangan konsumen “tidak usah memaksakan diri,” atau dalam bahasa ilmu sosial, “tidak usah mencari maksimum. “Dengan kata lain, mereka akan lebih tenang bila mereka berpuas diri dengan yang tersedia di depan mereka daripada repot memilih yang lebih baik. (Sebuah lelucon yang dilontarkan melalui komentar di Amazon untuk The Paradox of Choice adalah bahwa si pengunjung menemukan duapuluh buku dengan topik sama dan ia tidak berhasil membuat keputusan, akhirnya ia tidak membeli yang mana pun).
Saya orang yang skeptic. Alternatif dari membiarkan orang memilih adalah bagi mereka. Pelajaran dari ilmu tentang penjualan eceran sejak seabad yang lalu (termasuk sejarah toko serba ada Soviet) adalah bukan ini yang paling diinginkan oleh konsumen.
Tentu saja, pilihan berlimpah tidak selalu yang paling sempurna. Situasi ini terlalu sering memaksa kita bertanya, “Hmm, apa yang sesungguhnya aku inginkan?” dan tidak semua orang terbiasa berpikir sebelum berbuat. Akan tetapi, solusi untuk ini bukan pembatasan jumlah pilihan, melainkan mengaturnya sedemikian supaya tidak menjadi beban. Seperti yang ditulis sendiri oleh Schwartz, “Seorang penduduk kota kecil yang berkunjung ke Manhattan bingung dengan segala sesuatu di sana.
Sedangkan penduduk asli New York, berkat adaptasi dengan kota yang senantiasa hiruk pikuk ini, tak pernah ambil pusing.”
Kecurigaan saya tentang penelitian dengan selai yang dikutip oleh Schwartz pertama kali timbul sewaktu saya kebetulan sedang di bagian selai di sebuah supermarket dekat rumah saya. Pilihan yang tersedia lebih dari duapuluh. Dimulai dengan strawberry dan raspberry yang biasa dan terus ada. Berikut ini beberapa contoh: Lemon Curd, Golden Mint, Tomato Cinnamon Clove, Cinnamon Pear, Pear Fig, Pepper Jelly, Huckleberry Raspberry, Peach Apricot, Black Cherry, Passion Fruit, Pineapple, Pineapple Papaya, Guam Strawberry, Black Currant, Jalapeno Pepper (dengan variasi Merah dan Hijau), Rhubarb, Rosehip, Mint-Flavored Apple… dan sebagainya, termasuk varian Light untuk kebanyakan yang di atas.
Variasi di situ tidak hanya enam atau duapuluh empat; seluruhnya lebih dari tiga ratus. Secara keseluruhan, toko itu memajang empatpuluh dua merek, dengan rata-rata menyediakan delapan macam selai. Saya berbincang-bincang dengan manajer. Dalam lima tahun sejak studi tentang selai itu diadakan, supermarket itu telah melipat duakan variasi selai yang ditawarkan. “Masih banyak lagi yang tersedia dan orang tampaknya senang mencoba rasa yang menurut mereka lebih eksotik,” katanya kepada saya.
Disarikan dari buku: The Long Tail, Chris Anderson, 205-208.