I
ni membingungkan. Entah ada yang salah pada studi tersebut atau para pemilik supermarket di Amerika sengaja tidak peduli dengan yang sesungguhnya diinginkan oleh konsumen. Saya mengirim email kepada para peneliti itu untuk menanyakan apakah mereka mempunyai gambaran tentang mengapa orang yang seharusnya paling tahu tentang pilihan konsumen di supermarket malahan mengabaikan kesimpulan mereka.
Sesungguhnyalah, mereka telah mempunyai jawabannya, yang akan mereka terbitkan dalam sebuah penelitian. Dalam makalah berjudul “Knowing What You Like versus Discovering What You Want: The Influence of Choice Making Goals on Decision Satisfaction,” guru besar Columbia Sheena Iyengar dan mitra-mitranya menyimpulkan: Kendati pilihan membuat orang merasa terbebani, konsumen tetap lebih suka memilih dan mereka menginginkan pilihan yang banyak.
Bagaimanapun, manfaat yang mereka rasakan dari memilih bukan dari pilihan itu sendiri melainkan dari proses memilih. Dengan memberi kesempatan kepada pemilih untuk merasa sebagai orang yang bisa bertindak sesuai kehendak sendiri, berhasil memiliki preferensi sendiri, dan berhasil melaksanakan proses memilih, manfaat yang diperoleh menjadi majalah Forbes baru-baru ini berjudul “I’m Pro-Choice” yang menanggapi artikel: “Offer customers abundant choices, but also help them search,” sekarang kami tahu mengapa demikian.
Solusi yang mereka temukan adalah mengatur pilihan sedemikian sehingga sungguh memudahkan para konsumen. Coba kita tengok salah satu pengecer online untuk melihat unjuk kerja prinsip ini.
Sesungguhnyalah, Amazon pun menjual selai. Tidak hanya enam macam, atau duapuluh empat macam, tetapi lebih dari seribu dua ratus macam, berkat kemitraan mereka dengan sejumlah pedagang kecil yang menjual makanan olahan. Namun, ada perbedaan besar antara keragaman di dunia fisik dan di dunia online.
Di toko fisik, produk-produk diam di rak tempat mereka diletakkan. Apabila konsumen tidak tahu yang ia inginkan, satu-satunya panduan adalah apa pun informasi pemasaran yang dicetak pada kemasannya, dan berdasarkan asumsi kasar produk yang ditawarkan dengan volume paling besar umumnya paling popular.
Bagaimanapun, di dunia online, konsumen mendapatkan bantuan lebih banyak. Teknik untuk menyadap informasi laten di pasaran hampir tidak terbatas dan itu membuat proses pemilihan lebih mudah.
Anda dapat memilah menurut harga, menurut rating, menurut tanggal, dan menurut genre. Anda dapat membaca komentar konsumen. Anda dapat memperbandingkan harga-harga antar produk dan, kalau Anda mau, membuka Google untuk menemukan sebanyak apa pun produk yang dapat Anda bayangkan.
Rekomendasi-rekomendasi menawarkan produk-produk yang telah dibeli oleh “orang-orang seperti Anda,” dan yang cukup mengejutkan, biasanya Anda memang sasaran untuk produk-produk itu. Bahkan andai Anda tak tahu sedikit pun tentang suatu kategori, peringkat berdasarkan kelarisan akan mengungkapkan pilihan paling populer, yang selain menjadikan pemilihan lebih mudah juga cenderung meminimalkan penyesalan pasca penjualan. Bagaimanapun, jika setiap orang lain memilih suatu produk, pasti produk itu tidak terlalu buruk.
Masalah pada eksperimen selai adalah penyajiannya yang tidak beraturan; semua selai ditampilkan serentak dan petunjuk yang ada bagi konsumen hanya pengetahuan mereka yang seadanya tentang selai atau apa pun yang tertulis pada label.
Itu masalah sama yang juga dijumpai di rak supermarket. Yang menuntun Anda hanyalah tingkat kepakaran Anda tentang suatu domain, apa pun informasi tentang merek yang telah tersimpan dalam otak Anda baik melalui, pengalaman atau iklan, maupun pesan-pesan pemasaran pada kemasan dan rak.
Kebijaksanaan konvensional tidak salah: Pilihan lebih banyak sungguh lebih baik. Namun, sekarang kita tahu bahwa keragaman saja tidak cukup; kita juga memerlukan informasi tentang keragaman itu dan apa saja yang telah dikerjakan oleh konsumen lain sebelum kita untuk pilihan-pilihan yang sama.
Google, dengan kemampuannya, yang seolah-olah tak terbatas dalam hal mengatur Web yang serba kacau sehingga yang kita inginkan muncul di urutan teratas, merupakan salah satu alat bantu yang penting. Paradox of choice ternyata lebih tentang kekurangmampuan memudahkan proses pemilihan daripada tentang penolakan terhadap keragaman. Pengaturan yang salah sudah pasti menjadikan pekerjaan memilih suatu beban berat; sedangkan pengaturan atau pengurutan yang benar menjadikan pekerjaan itu lebih mudah.
Virginia Postrel, seorang penulis makalah tentang ekonomi keragaman (economics of variety), menerangkan mengapa begitu banyak penelitian akademik dalam hal pilihan tampaknya berseberangan dengan pelajaran-pelajaran dari pengalaman bisnis dunia nyata selama berpuluh tahun:
Demi alasan ilmiah yang bagus, eksperimen psikologi secara sistematik memilah-milah kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik bisnis yang menjadikan pekerjaan memilih dalam kehidupan nyata, terutama keputusan-keputusan dalam berbelanja, dapat diatur. Ini karena eksperimen-eksperimen tersebut dirancang untuk memahami pikiran, bukan pasar…Dalam kenyataan, orang tidak suka memilih, bahkan menganggap memilih sebagai beban. Mereka mempunyai perasaan yang campur aduk soal ini. Dan, di dunia nyata, terutama di pasar yang sesungguhnya, mereka sering meminta bantuan atau menggunakan alat bantu dalam membuat keputusan.
Ketika menulis di kolomnya di New York Times, Postrel menunjukkan bahwa agen-agen real estate, perencana keuangan, mesin pencari, dan layanan-layanan rekomendasi di Amazon, semuanya mengerjakan yang sama. “Masing-masing tahu sesuatu tentang kita dan tahu sesuatu tentang mana yang berharga. Mereka tidak hanya mengurangi jumlah pilihan. Mereka melakukannya dengan cerdas, dengan mata yang terus terbuka untuk mencarikan mana yang paling kita inginkan. Mereka membantu kita menjadi diri sendiri.”
Itu sebabnya kini ada wedding planner, sebuah profesi yang duapuluh tahun silam hampir tidak ada. “Ketika kendala-kendala tradisi menjadi agak longgar dan pasar pernikahan menawarkan pilihan lebih banyak untuk segala sesuatu dari undangan hingga limousine, pernikahan, pernikahan menjadi lebih kompleks dan lebih personal, “jelas Postrel. Keanggotaan di Association of Bridal Consultants telah tumbuh menjadi 4000 dalam tahun 2004, dari 27 dalam tahun 1981.
John Hagel, seorang konsultan manajemen, menambahkan: “Makin banyak pilihan yang kita miliki, makin perlu kita memutuskan mana yang sungguh kita inginkan. Makin serius pertimbangan kita tentang yang sungguh kita inginkan, makin terlibat kita dalam penciptaan barang-barang yang kita beli dan kita gunakan (melalui customization). Makin besar peran kita dalam penciptaan produk dan layanan, makin banyak pilihan yang kita hadirkan untuk kita sendiri.”
Disarikan dari buku: The Long Tail, Chris Anderson, 208-212.