P
ada tahun 1988, seorang pendaki gunung Inggris bernama Joe Simpson menulis sebuah buku berjudul Touching the Void, sebuah cerita sangat menegangkan tentang situasi antara hidup dan mati di Pegunungan Andes yang termasuk kawasan Peru. Walaupun resensi tentang buku ini bagus, sukses penjualannya sedang-sedang saja, dan dalam waktu singkat telah dilupakan oleh banyak orang. Belakangan, satu dasawarsa kemudian, sesuatu yang aneh terjadi.
Ketika karya Jon Krakauer Into Thin Air, sebuah buku lain tentang tragedy pendakian gunung, sukses hebat, tiba-tiba, Touching the Void mulai terjual lagi.Toko-toko buku mulai memajang buku ini bersebelahan dengan Into Thin Air, dan penjualan terus menanjak. Pada awal 2004, IFC Films meluncurkan sebuah docudrama tentang kisah ini, dengan resensi yang bagus. Tidak lama setelah itu, HarperCollins meluncurkan sebuah buku cetak ulang versi murah, yang bertahan empatbelas minggu dalam daftar buku laris New York Times. Pada pertengahan 2004, Touching the Void mengungguli penjualan Into Thin Air lebih dari dua kali lipat.
Apa yang terjadi? Ketok tular online. Word of Mouth lewat Internet. Ketika Into Thin Air pertama kali diluncurkan, beberapa pembaca menulis resensinya di Amazon.com yang menunjukkan kemiripannya dengan Touching the Void yang kurang terkenal, sekaligus memuji yang belakangan sebagai karya yang istimewa. Sejumlah pembaca lain membaca resensi itu, melihat ringkasan buku lama termaksud, kemudian menambahkannya ke dalam “kereta belanja” mereka. Segera setelah itu, peranti lunak penjual buku secara online ini melihat pola perilaku belanja tersebut-“Pembaca yang membeli Into Thin Air juga membeli Touching the Void”-dan mulai menganjurkan kedua buku ini sebagai satu pasang.
Orang menerima anjuran tersebut, dengan tulus merasa setuju, dan dengan bersemangat menulis resensi atau komentar mereka tentang buku-buku ini. Makin sukses penjualan, makin banyak komentar positif yang ditampilkan-maka selanjutnya ini membentuk sebuah lingkaran umpan balik positif yang kuat.
Patut dicatat bahwa ketika buku Krakauer mulai dipajang dirak, stok buku karya Simpson hampir habis. Satu dasawarsa yang lalu pembaca Krakauer tidak akan pernah tahu menahu soal buku karya Simpson-dan andai tahu pun mereka hampir mustahil bisa menemukannya. Penjualan buku secara online mengubah situasi itu. Dengan memadukan ruang pajang yang tak terbatas dengan informasi waktu nyata (real-time) tentang tren belanja dan pandangan masyarakat pengguna, maka terciptalah fenomena Touching the Void.
Yang terjadi dalam hal ini adalah: meningkatnya kebutuhan atas buku yang nyaris tak dipedulikan orang. Ini bukan hanya cerita tentang keberhasilan penjual buku online; ini sebuah contoh tentang sebuah model ekonomi baru untuk industry media dan hiburan, yang baru mulai menunjukkan kekuatannya.
Pilihan yang tidak terbatas menyingkapkan kebenaran tentang apa yang diinginkan oleh konsumen dan bagaimana mereka ingin mendapatkannya dari tiap layanan yang ada-dari DVD di perusahaan rental-by-mail Netflix hingga lagu-lagu dalam iTunes Music Store dan Rhapsody.
Orang bisa menjelajah sekehendak mereka ke dalam katalog, mencari-cari di antara daftar judul yang sangat panjang, dengan koleksi yang jauh lebih banyak daripada yang tersedia di Blockbuster Video dan Tower Records. Dan, makin banyak yang mereka temukan, makin suka mereka.
Setelah menjelajah semakin dalam, banyak di antara mereka menemukan bahwa selera mereka ternyata berbeda dari selera umum seperti yang semula mereka duga (atau seperti yang telah dipaksakan untuk mereka yakini oleh pemasaran, oleh kultur yang hit-sentris, dan, yang paling sederhana, oleh ketiadaan pilihan lain).
Data penjualan dan kecenderungan layanan ini serta layanan lain yang serupa menunjukkan bahwa ekonomi hiburan digital yang baru muncul akan berbeda secara radikal dari pasar massal zaman ini. Apabila industri hiburan abad keduapuluh bicara soal hit, abad keduapuluh satu juga akan bicara soal pasar kecil yang khusus atau niche.
Sudah terlalu lama kita ditindas oleh tirani aturan pembagi persekutuan terkecil, dibuat mati otak oleh film-film sukses dan lagu-lagu popular. Mengapa? Karena model ekonomi kita. Banyak asumsi kita tentang selera popular sesungguhnya didasarkan pada upaya penyesuaian pasokan dan permintaan yang buruk-sebagai reaksi pasar terhadap distribusi yang tidak efisien.
Masalah yang utama, andai istilah ini tepat, adalah bahwa kita hidup dalam dunia fisik, dan sampai belum lama ini, begitu pula sebagian besar media hiburan. Dunia seperti itu menerapkan pembatasan yang dramatic terhadap industri hiburan kita.
Disarikan dari buku: The Long Tail, Chris Anderson. Hal: 1-3.